Di pertigaan sibuk antara Jalan Sumagung 3 dan Jalan Raya Kelapa Gading Permai, berdiri sebuah tiang kokoh yang menjadi bagian dari bangunan tiga lantai tempat Martabak Bong Ngian bernaung sejak 1983. Namun, tiang ini lebih dari sekadar penyangga bangunan—ia adalah penanda, titik temu, dan saksi bisu dari seorang pria yang tak kenal lelah: Oom Bong Ngian.
Lelaki berusia 72 tahun ini, dengan potongan rambut cepak dan langkah gesit, tak tampak seperti seseorang yang sudah memasuki usia senja. Setiap hari, ayah tiga anak ini bisa ditemukan duduk santai di kursi plastik dekat tiang, bercengkerama dengan siapa saja dari petugas parkir, pelanggan, hingga orang-orang yang kebetulan lewat. Kedai ini, yang menyajikan martabak telur dan martabak manis, pukis, serta berbagai gorengan yang menggugah selera, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan warga sekitar. Putrinya Tia berdiri tak jauh darinya di balik meja kasir, siap menerima pesanan.
Bagi penduduk sekitar, martabak manis Oom Bong Ngian bukan sekadar jajanan, melainkan suguhan yang dinikmati dari generasi ke generasi. Seperti halnya martabak buatannya yang menjadi menu wajib pada acara-acara perayaan, kehadirannya juga telah menjadi bagian dari pemandangan masyarakat setempat. Begitu ia tak terlihat di tempat biasanya, orang-orang pun langsung bertanya kepada Tia dengan nada cemas.
"Mereka pasti nanya, 'Ayahmu mana? Kok enggak di tiang?'" kata Tia, terkekeh.
Oom Bong Ngian adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara. Di usia 17 tahun, ia meninggalkan kampung halamannya di pesisir Pulau Bangka untuk mencari nafkah. Ia sempat bekerja di Sorong, Papua, sebelum akhirnya berlayar ke Jakarta pada 1973, dalam perjalanan panjang yang memakan waktu 17 hari. Untuk menyambung hidup, ia melakukan berbagai pekerjaan: dari bekerja di restoran dan toko barang pecah belah hingga berjualan ikan asin.
"Saya enggak punya hobi. Hobi saya cari duit," katanya lugas.
Tia yang duduk di sebelahnya mengangguk cepat. "Benar banget," ujarnya. "Kalau punya hobi, pasti beliau sudah keluyuran di luar sana!"
Setiba di Jakarta, ia dan kakaknya menyempurnakan resep pukis yang mereka jual menggunakan gerobak motor, dari rumah mereka di Roxy, Jakarta Barat, menuju Pasar Mayestik di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Beberapa tahun kemudian, martabak manis dan telur ikut masuk menu setelah ia mempelajari resepnya dari seorang teman dan menyempurnakannya sendiri. Pada 1983, dari hasil berjualan pukis dan martabak, ia menyewa bangunan di Kelapa Gading lima tahun kemudian, dengan jerih payahnya sendiri, ia berhasil membeli tempat itu.
Meski tren kuliner datang dan pergi, Oom Bong Ngian tetap berpegang teguh pada rasa martabak klasik. "Kalau yang macem-macem itu kan sebentar doang. Ngetopnya enggak lama," katanya. Walaupun tokonya kini menawarkan varian martabak manis modern seperti Nutella dan Ovomaltine, ia lebih menyukai rasa cokelat, keju, dan kacang—rasa-rasa klasik yang sudah akrab di lidah pelanggannya.
Rutinitasnya dimulai sejak subuh, kebiasaan yang sudah ia jalani selama puluhan tahun. Hingga kini, ia tetap belanja sendiri ke pasar Rawamangun untuk memilih bahan baku terbaik. "Malah senang saya, enggak ada capeknya. Kan belanja buat cari duit," ujarnya, tersenyum lebar.
Namun, kisah hidup Oom Bong Ngian tidaklah luput dari kesulitan. Saat mengenang masa kecilnya di Bangka, ia terdiam sejenak, berusaha untuk menahan tangis dan berupaya menenangkan diri. "Orang tua saya susah dulu. Jadi kita harus berjuang," katanya lirih. "Kalau merantau, ya, harus kerja keras. Enggak boleh tahu lelah."
Di awal merintis kedainya di Kelapa Gading, ia pernah diserang perampok bersenjata hingga mengalami cedera di kepala. Namun, keesokan harinya, ia tetap kembali berjualan seperti biasa, menolak tunduk pada ketakutan.
Kelapa Gading telah banyak berubah sejak pertama kali Oom Bong Ngian tiba. Yang dulu hamparan sawah kini menjadi pusat kota yang semarak. Namun, di tengah perubahan yang terus bergulir, martabak Oom Bong Ngian tetap bertahan, menjadi rasa nostalgia di tengah kota yang berkembang pesat.
Pendekatannya dalam berbisnis pun sama tradisionalnya dengan resepnya. Ia bahkan tak pernah membawa ponsel, sesuatu yang kerap membuat Tia geleng-geleng kepala. "Entah gimana caranya, beliau bisa ngobrol sama orang di tiang dan tiba-tiba pulang dengan info pemasok pisang dari Kalimantan!"
Yang lebih mengejutkan? Oom Bong Ngian bukanlah penggemar kuliner, meskipun Kelapa Gading terkenal sebagai surga destinasi kuliner. "Waduh, saya jarang jajan. Gorengan jarang, martabak pun jarang makan," katanya dengan tawa lepas.
Bagi Oom Bong Ngian, kepuasan bukan datang dari menikmati makanan, melainkan dari membuatnya. Kini, dua dari tiga anaknya telah mengambil alih operasional sehari-hari kedai, meneruskan standar kualitas yang telah ia bangun selama puluhan tahun.
Martabak Bong Ngian adalah saksi hidup bahwa kuatnya tradisi, ketekunan, dan kerja keras bisa bertahan melintasi zaman. Dari balik meja kasir yang dipenuhi gorengan hangat, Tia memperhatikan sang ayah yang bertukar canda tawa dengan seorang juru parkir yang sudah dikenalnya selama lebih dari 20 tahun.
"Papa rajin banget dan kerja sangat keras. Saya bangga sekali dengannya," katanya, sambil menyelesaikan pesanan pelanggan.
Di luar, suara tawa Oom Bong Ngian kembali menggema dari pertigaan jalan, di titik yang sudah menjadi miliknya: tepat di samping tiang kesayangannya.