Sesuap Harapan dalam Hidangan Betawi

Bagi Yan Musa, tahun 2003 menjadi masa yang penuh ketidakpastian. Pemutusan hubungan kerja mendadak membuatnya kehilangan pekerjaan dan menghadirkan bayang-bayang kekhawatiran bagi keluarganya yang masih muda. Masa-masa itu adalah benar-benar soal bertahan hidup sebuah kenangan yang masih segar di benak istrinya, Suri Lestari. Namun, dari kesulitan tersebut, lahirlah percikan sesuatu yang bertahan lama.

Ide Nasi Uduk Lapangan Tenis bukanlah rencana bisnis besar. Ia justru muncul dari hal yang jauh lebih sederhana: sebuah keinginan. Saat itu, Tante Suri mengenang, dunia kuliner Kelapa Gading masih sepi. Dan satu hal yang sangat dirindukannya adalah sepiring pecel lele yang benar-benar enak. “Lele sini nyari-nyari di situ susah tuh,” ujarnya sambil tertawa, mengingat frustrasi yang makin menumpuk saat tak kunjung dapat lele yang pas. “Jadi itu memang kepikirannya karena kayaknya buka oke kali ya. Karena kan sendiri ngalamin gitu nih nyari lele kok susah amat.”

Ketiadaan itu akhirnya menanam benih. Kalau tidak ada yang mau buka, kenapa tidak mereka saja?

Pasangan ini memilih lokasi strategis di depan lapangan tenis lokal itulah yang jadi asal-usul namanya. Dengan gerobak sederhana serta tenda kecil, mereka memulai warung kecilnya. Hari pertama berjalan lambat: hanya satu porsi nasi uduk yang terjual ke anggota keluarga. Namun, semua langkah maju harus dimulai dari satu titik.

Om Yan bukanlah koki terlatih. Dia punya dasar bisa membuat masakan Manado, sementara kuliner Betawi adalah wilayah baru. Untungnya, dia punya senjata rahasia: ibu mertuanya. “Mami itu jago masak banget,” kata Tante Suri dengan bangga. “Jadi, masakan apa pun, mamiku bisa diajarin sama mami.” Dengan bimbingannya, Om Yan belajar seni membuat nasi uduk nasi berbumbu santan yang harum dan lembut, yang kemudian jadi jantung menu mereka dan cara menyandingkannya dengan lele goreng renyah serta pelengkap tradisional lainnya.

Ketika mereka merasa tempat di pinggir lapangan tenis yang membuat mereka terkenal sudah melebihi kapasitas, mereka pindah ke rumah sebelah yang kemudian jadi pangkalan ojek. Dua tahun kemudian, tawaran kepemilikan yang menggoda membawa mereka ke lokasi sekarang, yang telah mereka tempati selama 18 tahun. Kini, mereka kembali menghadapi kemungkinan pindah, yang menjadi bukti tantangan dalam menjalankan usaha dalam bentuk fisik.

Popularitas menu andalan mereka ayam goreng dan ayam kalasan tak perlu banyak promosi. Terbukti dari angka: sekitar 100 ekor ayam habis setiap hari. Pengunjung baru biasanya disarankan untuk memesan “paket” nasi, lauk, tahu goreng, tempe, dan sambal khas mereka yang melimpah. Versi nasi uduk khas Betawi mereka kaya dan mengenyangkan cocok untuk sarapan, makan malam, atau rasa lapar tengah malam yang hanya bisa diobati lele goreng.

Yang membuat orang terus kembali bukan hanya makanannya, tapi juga ikatan emosional yang dalam. Tante Suri bangga ketika menceritakan pelanggan yang dulu datang saat SMP kini membawa anak-anak mereka. Sebuah bukti rasa yang tak berubah selama dua dekade. Beberapa pelanggan datang dari seberang kota, bahkan dari seberang dunia. “Pernah ada yang dari Amerika,” kata Tante Suri dengan mata berbinar. “Selama dia liburan di sini, hampir setiap hari dia datang. Saking kangennya.”

Di dapur semi outdoor mereka, udara dipenuhi suara alat masak serta aroma nasi santan dan minyak panas. Operasi mereka sudah terkoordinasi dengan baik 13 staf sibuk memotong, menggoreng, dan menyajikan. Om Yan berjalan seperti jenderal, mencicipi, menyesuaikan rasa, kadang ikut menggoreng sendiri. Tak jauh dari situ, Tante Suri mengatur di meja kecil, mengurus pemasok, menyapa pelanggan setia, dan menerima pembayaran dari mereka yang sudah kenyang. Secara individu, mereka ahli, ibarat mesin dan jiwa dari bisnis yang dibangun dari rasa, naluri, dan hati.

Tante Suri tidak menutupi apa pun dan tidak segan menertawakan dirinya sendiri. Ditanya apakah masih sering makan nasi uduk buatan suaminya, jawabannya tegas: masih. Tapi ada pengecualian kecil. “Cuma karena udah gemuk, jadi menjaga,” dia tertawa. 

Restoran mereka telah menjadi tempat kenangan tercipta dan diwariskan. Kini, dengan kedua anak mereka yang sudah dewasa, pasangan ini mulai memikirkan masa depan. Anak sulungnya tinggal di Australia, tetapi berencana pulang untuk membantu bisnis. Sementara anak bungsunya masih kuliah di LSPR, tapi sudah akrab dengan ritme warung.

Ditanya soal masa depan, Tante Suri tak ragu. “Pengen tetap ini. Pengen tetap ngembangin juga,” katanya. “Kalau jualan sampai semampunya, karena nggak mau jompo di rumah,” dia menambahkan, sambil tertawa.

Bagi Tante Suri, nasi uduk adalah kode budaya: disukai semua orang dan, tak salah lagi, identitas Jakarta. “Kalau nggak makan nasi uduk, bukan orang Jakarta.” Baginya, nasi uduk merupakan bagian dari kota ini seperti halnya macet dan banjir.



Sulit untuk tidak jatuh cinta pada hidangan yang terasa seperti rumah dalam setiap suapan, dan mungkin itulah keindahan sesungguhnya dari masakan Jakarta: lahir di ibu kota, dimasak oleh pria Manado yang belajar dari ibu mertua asal Rangkasbitung, dan kini disajikan untuk pelanggan setia di Kelapa Gading. Sebuah hidangan yang diracik dari kebijaksanaan yang dipinjam, dan rasa yang begitu tulus hingga membuat pelanggan dari seberang dunia kembali lagi, hari demi hari, mencari rasa nyaman yang hanya bisa ditemukan dalam sepiring makanan yang benar-benar terasa seperti pulang.

Discover Other Stories