Ketika membahas soal makanan, ada beberapa hal yang bisa memicu banyak perdebatan sehingga dapat mengancam persahabatan dan kekeluargaan. Haruskah semangkuk bubur ayam diaduk atau tidak? Apakah nanas layak sebagai topping di atas pizza? Apakah pempek lebih baik disajikan dengan cara digoreng atau direbus?
Bagi Ko Harli, sebagai generasi kedua pengelola Pempek Palembang & Otak-Otak 161, jawabannya tidak sesimpel itu: saat orang tuanya pertama kali berjualan pempek dari rumah ke rumah pada 1980, peralatan mereka masih sangat sederhana dan belum memiliki penggorengan. Kala itu, pempek yang mereka buat masih dinikmati dalam bentuk aslinya, yaitu direbus, dicelupkan ke dalam cuko dengan rasanya yang tajam, lalu diseruput. Pada beberapa jenis pempek, seperti halnya pempek kulit, pempek seharusnya digoreng untuk mendapatkan tekstur yang lebih renyah. Namun, pempek yang masih segar lebih baik disantap dengan cara direbus agar cita rasa dari lembutnya ikan lebih terasa.
Di balik etalase kaca dan aluminium, Ko Harli memerintahkan tim dapur dan staf pelayan untuk menyiapkan pempek segar pada hari itu. Aroma gurih ikan, tajamnya cuko, dan suara desis minyak panas dalam wajan yang menguar di udara menjadi untaian tak terputus yang menghubungkan dapur masa kini dengan usaha yang dirintis orang tuanya pada 1980-an.
Menjadi cagar kuliner di Kelapa Gading, Pempek 161 sudah teruji seiring waktu berjalan. Berlokasi di tengah hiruk-pikuk tempat makan dan restoran di Jalan Boulevard Raya, tempat makan yang dijalankan oleh keluarga ini senantiasa meneruskan tradisi yang tetap teguh meski tren kuliner datang silih berganti.
Ibunda Harli adalah sosok di balik resep-resep aslinya. Sebelum menetap di Jakarta, ia dan suaminya memiliki pelanggan setia di Palembang. Namun, mereka justru melihat masa depan di Kelapa Gading, kawasan di Jakarta Utara yang saat itu masih penuh dengan lahan kosong sekaligus memiliki banyak potensi. Pada 1988, mereka memberanikan diri untuk mengambil langkah besar dan membuka usaha. Walaupun lingkungannya sepi penduduk, ruko dibuka sejak subuh untuk menyajikan sarapan. “Pukul 7 malam, jalanan sudah sepi,” kenang Harli. Meski demikian, orang tuanya tetap bersabar dengan mengandalkan kualitas pempek mereka untuk dapat menarik pelanggan.
Berpuluh-puluh tahun kemudian, naluri mereka benar. Bisnis yang mereka rintis dari usaha kecil keluarga kini telah berkembang menjadi nama yang digemari dan identik dengan pempek khas Palembang, dengan cabang di Tebet, Bintaro, Radio Dalam, dan Cibubur. Namun, ke mana pun mereka berkembang, seberapa besar pun skala usahanya, hal yang paling penting dari Pempek 161 tetap tak berubah.
"Kesuksesan Pempek Palembang & Otak-Otak 16 berakar pada komitmen yang teguh terhadap tradisi. Setiap varian pempek, mulai kapal selam, lenjer, hingga adaan, dibuat dengan cermat dan penuh ketelatenan, semua dikerjakan satu per satu dengan tangan persis seperti dulu."
Salah satu elemen terpenting dalam pempek adalah cuko—saus cocolan berwarna gelap dengan rasa tajam yang dibuat dari gula aren, cuka, dan cabai. Di Palembang, cuko terkenal dengan kepedasan yang menggigit, tetapi Pempek 161 menyesuaikan tingkat pedasnya agar lebih cocok dengan lidah orang Jakarta. Meski begitu, esensinya tetap sama: manisnya gula aren yang kaya, asamnya cuka yang menusuk, dan pedas yang perlahan melekat di lidah bukan untuk mendominasi, melainkan melengkapi cita rasa pempek itu sendiri.
Bagi Ko Harli, menjaga kualitas adalah usaha tanpa henti. “Makanan yang dibuat dengan tangan pasti memiliki sedikit perbedaan,” akunya. Namun, ia tetap bersikeras mencicipi setiap hasil olahannya demi menjaga konsistensi. Dari memilih ikan yang tepat sampai menyesuaikan kadar bumbu, tak ada satu detail pun yang luput dari perhatiannya.
Lebih dari sekadar makanan, Pempek 161 bertahan berkat kehangatan orang-orang di dalamnya. Banyak staf telah bekerja di sini selama lebih dari satu dekade hal yang langka di industri kuliner Jakarta yang bergerak cepat. Salah satunya Bu Siti Radyah, yang telah melewati berbagai fase kehidupannya di tempat ini dari remaja, menikah, hingga menjadi seorang ibu. “Saya bertemu dengan suami saya di sini, dan saya memiliki bos yang hebat,” katanya.
Para pelanggan pun memiliki ikatan yang tak kalah erat dengan toko ini. Beberapa di antara mereka datang sejak masa sekolah dan kini kembali bersama keluarga mereka. Ada juga ibu-ibu yang pertama kali mendengar tentang Pempek 161 dari teman sesama orang tua saat menunggu anak mereka pulang sekolah. Keakraban dan cita rasa yang tak berubah menjadi daya tarik tak kasatmata yang selalu membuat mereka kembali.
Meski menempuh studi di bidang logistik, Ko Harli tak pernah jauh dari bisnis keluarga. Ibunya tak pernah memaksanya mengelola bisnis keluarga, tetapi hatinya tetap tertarik pada usaha ini. “Saya tumbuh besar dengan menggiling ikan, belajar dengan merasakan sendiri apa yang membuat pempek jadi enak,” ujarnya. Mengambil alih bisnis ini bersama kakaknya merupakan langkah alami dalam meneruskan warisan Pempek 161.
Persaingan pun tak membuatnya gentar. “Tempat-tempat lain akan bermunculan, itu hal yang lumrah. Setiap orang berusaha untuk mencari rezeki,” katanya dengan santai. Namun, saat banyak kedai baru bereksperimen dengan pempek modern, Pempek 161 tetap teguh pada tradisinya.
Perluasan usaha selalu ada dalam rencana, tapi harus dilakukan dengan penuh pertimbangan. “Setiap daerah punya selera yang berbeda. Pelanggan di Jakarta Utara lebih mementingkan porsi besar dan harga yang terjangkau, sedangkan di Jakarta Selatan, rasa adalah prioritas utama,” Ko Harli menjelaskan. Bagi Pempek 161, pertumbuhan tak bisa dilakukan sembarangan. Semua harus dipikirkan dengan matang, seperti setiap aspek dalam bisnis ini.
Lalu, bagaimana dengan masa depan? Ko Harli berharap warisan ini bisa terus berlanjut. “Mungkin suatu hari nanti, Pempek 161 bisa ditemukan di seluruh Indonesia,” katanya sambil merenung. Namun, untuk saat ini, ia bangga bisa menjaga usaha yang telah dirintis orang tuanya tempat yang selalu membuat orang kembali, mencari cita rasa khas Palembang yang tak berubah.