Satu Mangkuk, Sejuta Cerita

Pukul 01.30 dini hari, saat sebagian besar warga Jakarta masih sibuk bermain ponsel di tempat tidur atau sudah terlelap, Pak Zaidin justru baru memulai harinya. Ia melangkah ke luar rumah, menyelinap dalam gelap yang sunyi, menuju pasar ketika jalanan masih basah oleh embun dan sepi. Pukul 02.00, ia sudah menyusuri lorong-lorong pasar yang mulai ramai. Matanya jeli mencari daging sapi paling segar dan tulang-tulang yang kaya sumsum.

Dia adalah satu di antara lima bersaudara semuanya pedagang bakso yang menyusuri jejak kuliner mereka dari sebuah warung sederhana yang dibuka oleh kakak tertua mereka pada 1992. Sejak merantau ke Jakarta pada 1997, Pak Zaidin diam-diam membangun basis pelanggan setianya sendiri di Kelapa Gading. Namun, tak seperti banyak usaha keluarga yang retak karena ego atau persaingan, kelima bersaudara ini menjalankan usaha mereka dengan rivalitas yang bersifat kooperatif.

“Mereknya sama, dompetnya beda-beda,” katanya sambil menyeringai nakal.

Tiap saudara mengelola gerai Bakso Ragil mereka masing-masing di berbagai penjuru kota. Resep dasarnya tetap sama, tetapi tiap versi memiliki sentuhan pribadi yang khas. Meski begitu, yang menyatukan mereka semua adalah komitmen teguh terhadap kualitas. Bagi Pak Zaidin, itu berarti pasokan daging sapi segar bukan daging beku, bukan daging giling jadi minimal tujuh kilogram setiap hari tidak bisa ditawar.

Di dapurnya di Jl. Raya Kelapa Lilin VII, rutinitas pun dimulai dalam keheningan. Ia menggiling daging, membentuk bakso satu per satu dengan cekatan, lalu mulai merebus kaldu beningnya perlahan-lahan, mengekstrak rasa dari tulang dan kesabaran. Rutinitas ini selesai sekitar pukul 06.30 pagi; dan saat sinar matahari pertama menyapu Kelapa Gading, Pak Zaidin sudah jauh masuk ke ritual hariannya yang penuh ketekunan.

Gaya bicara Pak Zaidin lugas dan apa adanya, menjawab hanya apa yang ditanyakan tanpa cerita tambahan, tanpa hiasan. Tak ada anekdot spontan atau kisah pribadi, kecuali dipancing perlahan. Sesekali, ia menyela dengan pertanyaan sopan tapi tegas, “Pertanyaannya udah belum?”, hanya untuk memastikan apakah sesi wawancara sudah selesai, agar ia bisa kembali bekerja.



Namun, ketika wajahnya menyunggingkan senyum, senyum itu lebar dan polos senyum seseorang yang damai dengan dirinya sendiri dan bangga atas apa yang telah ia bangun.

Gerai baksonya berdiri tenang di bawah kanopi rumah kontrakan di salah satu klaster tertutup di Kelapa Gading, hanya beberapa langkah dari portal kompleks. Tempatnya mudah terlewat jika tak benar-benar mencarinya jenis tempat yang “kalau nggak tahu, ya, lewat saja”, yang hidup dari kabar mulut ke mulut, bukan papan nama. Kanopi dan teras depan dibagi dua: di satu sisi, ada beberapa meja dan bangku sederhana dengan permukaan ditutupi banner plastik iklan teh manis dan minuman botolan. Tempat itu juga berbagi ruang dengan penjual gado-gado, dan di ujung lainnya berdiri gerobak bertulisan “BAKSO RAGIL”.

Gerobaknya sendiri sederhana fungsional dan tetap terawat. Dilengkapi dengan sendok sayur, mangkuk, penjepit, dan kompor gas, semua tersusun rapi. Di balik kaca, mi bihun dan mi kuning melingkar rapi, bersanding dengan bola-bola bakso yang dibentuk sendiri dengan tangan Pak Zaidin setiap pagi.

Menunya berpusat pada empat varian bakso: halus, urat, gepeng, dan tahu. Bakso urat, dengan serat-serat urat di dalamnya, memberi sensasi kenyal yang disukai pelanggan muda. Sementara bakso tahu menawarkan kontras lembut bagi yang lebih suka tekstur halus.

Sambal racikan rumahnya juga menjadi daya tarik tersendiri pedasnya terang dan bersih, menyeimbangkan kekayaan rasa kuah tanpa mendominasi. Ada pula minyak bawang khasnya yang memberi aroma lembut dan gurih, menyelimuti mi dalam setiap seruputannya.

Sepanjang wawancara, arus pelanggan datang silih berganti. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang datang naik mobil, tetapi sapaan tetap terlontar dan pesanan meluncur dengan cepat. Beberapa orang duduk sejenak di meja, tetapi kebanyakan memilih membungkus baksonya untuk dibawa pulang dan pergi secepat mereka datang.

Ada pula pelanggan spesial sesama penjual bakso yang datang menjelang Lebaran, memborong bakso buatan Pak Zaidin untuk dibawa ke kampung halaman. “Biasanya dibeli untuk dibawa pulang kampung,” katanya sambil tertawa. “Yang beli tukang bakso juga.” Ini seperti sebuah pengakuan tak langsung: para penjual berpengalaman memercayai hasil kerjanya hingga rela menjualnya kembali sebagai dagangan mereka sendiri.

Warga sekitar pun menyesuaikan jadwal belanja, antar jemput sekolah, dan perjalanan pagi mereka dengan waktu buka gerobaknya. Saat ia libur, protes pun bermunculan. “Ya banyaknya kayak gitu, kok lama banget kalau libur, gitu, padahal libur cuma seminggu,” tuturnya sambil tertawa, seolah tak habis pikir dengan kesetiaan mereka.

Dan para pelanggan tetap setia selama baksonya panas, kuahnya bening, dan sambalnya pedas. Pak Zaidin pernah mempertimbangkan untuk ekspansi. Pernah terpikir untuk bikin lini bakso beku dan mungkin cabang baru. Namun, ia enggan tumbuh terlalu cepat atau terlalu jauh.

“Ya udah lah, aku fokusnya ya ke bakso,” ujarnya santai, tak tertarik menambah menu kekinian atau mengaburkan ciri khasnya.

Mudah saja untuk mengira sifat pendiam Pak Zaidin sebagai tanda pasif. Tapi, di balik itu, tersimpan pemahaman yang tajam soal produk dan pasar. Ia tahu nilai dari datang lebih awal, konsisten, dan menjadi ahli di bidang sendiri. Namun, mungkin hal yang paling mengungkapkan semuanya adalah cara ia menikmati baksonya sendiri: semangkuk berisi semua varian bakso halus, urat, gepeng, tahu plus bihun dan mi kuning, ditutup dengan kecap dan sambal botolan, tanpa sambal buatan sendiri. “Kalau sambal, aku nggak begitu doyan,” ucapnya sambil tergelak.

Dan dengan itu, ia berdiri, melirik antrean kecil yang mulai terbentuk di depan gerobaknya.

“Pertanyaannya udah belum?” dia bertanya untuk kesekian kalinya.

Lalu, ia pun balik ke gerobak, siap menyambut pelanggan berikutnya.


Discover Other Stories