Sang Pendongeng Dibalik Kepulan Asap

H. Ismail Coulibaly, seorang pengusaha dan juru masak andal, kini bisa menambahkan satu lagi keahliannya: pendongeng. Ia menghibur para pengunjung yang hadir dengan menceritakan kisah-kisah masa lalunya, diselingi nostalgia dan candaan. Saat bertemu, sembari bercanda, ia mengusulkan untuk melakukan wawancara dalam bahasa asalnya. Berasal dari Mali, Afrika Barat, dia tetap menggunakan nama keluarganya. Di restorannya yang bergaya semi-outdoor, Sate Afrika H. Ismail Coulibaly, ia memadukan makanan, kenangan, dan komunitas.

Terletak di lantai pertama sebuah ruko, restoran ini merupakan area semi-indoor sederhana dengan peta Benua Afrika yang telah pudar terkena sinar matahari terpampang di sudut, sebagai simbol penghormatan terhadap asal-usul restoran ini. Tempatnya lapang, dengan deretan meja aluminium yang berjejer untuk meletakkan makanan yang dinikmati bersama keluarga.

Hidangan daging khas Coulibaly yang terkenal menarik pelanggan dari penjuru dunia, sangat berbeda dibanding pada masa awal berdirinya restoran ini. "Awalnya memang agak berat karena orang Afrika di Jakarta dulu dikit," ia menceritakan tentang masa tahun 1999, saat ia dan kakaknya  membuka restoran ini untuk pertama kali. "Dulu, mungkin sehari nggak dapat seratus ribu rupiah," kenangnya.

Awalnya, kebanyakan pelanggan mereka adalah sesama orang Afrika Barat. Namun, seiring berjalannya waktu, penduduk lokal dan internasional mulai sering bersantap di sana. Alasannya pun mudah ditebak, mengingat potongan daging domba yang kaya rasa dan berasap.

Terlepas dari namanya, “Sate Afrika” mungkin agak sedikit keliru karena tak ada satu pun daging yang ditusuk. Sebaliknya, nama ini justru merujuk pada cara memanggang. Potongan daging domba yang tebal, terkadang seberat 2,5 hingga 3 kilogram, dibakar dengan api besar. Menghasilkan daging terkaramelisasi di bagian luar, empuk dan beraroma di bagian dalam, tanpa aroma perengus yang kerap dikaitkan dengan daging domba.

Restoran ini memperoleh daging domba dari pemasok bersertifikat halal yang mengimpornya dari Selandia Baru dan Australia sehingga menjamin kualitas dan kepatuhan terhadap hukum makanan Islam, suatu pertimbangan penting bagi Coulibaly dan banyak pelanggannya. Hidangan ini disajikan dengan tumpukan bawang bombai yang manis serta salad sederhana yang terdiri atas selada, tomat, dan bawang bombai, lalu disiram dengan saus cuka untuk menambah kelezatannya.

Namun, pisang raja mungkin merupakan hidangan pelengkap yang paling menonjol. Irisan pisang yang matang berkaramel, yang dikenal dengan nama loko di Mali, menambah kesan yang manis pada dagingnya. “Kalau orang saya bisa hidup tanpa nasi,” ucap Coulibaly. “Kami bisa makan pakai pisang dan jagung.” Namun ada satu hal yang tetap bersifat umum: daging. “Dari kecil sampai gede, kami di Mali semua makan daging.”

Filosofi restoran yang mengutamakan daging adalah sederhana namun efektif: daging domba tidak pernah direbus sebelum disajikan karena, menurut Coulibaly, hal tersebut justru dapat menghilangkan cita rasanya. Sebaliknya, potongan daging langsung dipanggang dengan api besar sehingga sari dagingnya terpanggang. “Kalau kamu rebus dulu,” kata dia, “nanti ada baunya, bau daging.” Dia telah melihat hal ini terjadi di restoran lain, yang terkadang dagingnya memiliki aroma yang menyengat. Kesegaran dan metode memasak yang tepat memastikan hal ini tidak terjadi di restorannya.

Ini merupakan sebuah proses yang membutuhkan kesabaran. Beberapa irisan daging bisa memakan waktu hingga dua jam untuk benar-benar matang, dan tingkat kepanasan dari pembakarannya harus tepat agar dagingnya betul-betul terpanggang dengan sempurna tanpa membuatnya kering. Coulibaly bersikeras untuk tidak membumbui daging terlebih dahulu. “Enggak boleh,” dia menegaskan. Cita rasa seharusnya berasal dari teknik memanggang itu sendiri.

Di balik keseriusannya dalam hal makanan, Coulibaly sebenarnya memiliki jiwa pendongeng. Dia mengumpulkan sejumlah pengalaman dari perjalanannya selama bertahun-tahun, seperti saat dia berada di Makkah, mengobrol dengan sekelompok orang Maroko, Yordania, Palestina, dan seorang pria Indonesia. Selagi mereka mengobrol, Coulibaly melontarkan pernyataan yang berani: “Manusia paling baik di bumi ini adalah orang Indonesia.”

Menurut pengalamannya, orang Indonesia adalah orang yang paling ramah yang pernah ia temui. “Kalau kamu menyakiti orang Indonesia dia, dia minta maaf sama kamu,” ujarnya.

Saat ia datang ke Indonesia pada 1998 untuk pertama kalinya, negeri ini sedang dilanda kekacauan. Kedatangannya semula untuk berdagang di industri garmen, tetapi ia melihat ada peluang untuk mengenalkan hidangan khas Mali kepada khalayak baru.

Meskipun tidak memiliki latar belakang di bidang kuliner secara profesional, rasa cinta Coulibaly begitu mendalam terhadap makanan. “Aku hobi masak,” ucapnya. Jauh sebelum membuka Sate Afrika, ia adalah juru masak yang ditunjuk oleh teman-temannya. Dia telah mempelajari berbagai macam gaya memasak selama bertahun-tahun, termasuk hidangan pasta Italia dan makanan Spanyol. Namun, ujungnya, ia selalu kembali ke keahliannya: memanggang daging.



Walau merasa bangga dengan komunitas yang telah dibangunnya, Coulibaly masih kerap meluangkan waktu dalam beberapa minggu setiap tahun untuk menyambangi rumahnya di Mali, sebuah tradisi tahunan yang membantunya agar tetap rendah hati. Di sana, ia dikelilingi keluarga, terhubung dengan asal-usulnya, dan kembali ke Jakarta dalam kondisi segar, tentunya bersiap untuk membuka kembali restorannya dan menyambut para pengunjung baru ke tengah-tengah keluarganya yang terus berkembang. Dan, setelah dua dekade di Indonesia, Coulibaly masih terus memasak, menjalin hubungan, dan berbagi sepotong hidangan khas Afrika Barat pada setiap piring yang disajikan dari dapurnya.


Discover Other Stories