Ketika Kegagalan Hanya Keberhasilan yang Tertunda

Darwin Sofjan tak pernah bisa diam baik secara harfiah maupun kiasan. Di area duduk Darwin’s Theory, kafe yang menyandang namanya, energinya terpancar di setiap gerakan. Lututnya memantul-mantul di bawah meja, jarinya mengetuk-ngetuk, tangannya tak berhenti bergerak, seolah kata-kata saja tak cukup untuk menyalurkan arus yang mengalir dalam dirinya. Ia menaiki lima lantai kantor pusat rotinya tanpa terlihat lelah sedikit pun. Tapi, di balik semua gerak itu, ada sorot mata tajam dan pemikiran yang fokus. Cara bicaranya lugas, pikirannya padat disampaikan dengan kejernihan seseorang yang sudah seumur hidup terbiasa berpikir cepat dan dalam.

Sosok serbabisa seperti ini jarang ditemukan di Kelapa Gading karena sebagian besar pemilik usaha F&B adalah spesialis sejati yang menghabiskan puluhan tahun untuk menyempurnakan satu mangkuk mi, seporsi coto, atau sepotong pangsit. Tapi, Oom Darwin bukan orang biasa. Selama bertahun-tahun, energi yang terasa dari nada bicaranya juga telah membawanya mencoba berbagai peran, dan semua dijalaninya dengan penuh keyakinan.

Rasa ingin tahunya yang tak pernah padam itu dimulai di Pematangsiantar, sebuah kota yang berjarak 129 kilometer di selatan Medan. Oom Darwin pindah ke Jakarta pada era 1980-an dan terjun ke dunia distribusi film secara tak langsung menjadi “pedagang cerita”. Industri itu mengasah naluri bisnisnya dan mempertemukannya dengan beragam karakter, yang akhirnya membawanya memproduseri film Madre pada 2013, yang dibintangi Laura Basuki dan Vino G. Bastian. Diadaptasi dari cerita pendek Dee Lestari, film itu berkisah tentang adonan sourdough yang terlupakan mungkin sebuah isyarat kecil tentang awal perjalanannya ke dunia baking.

Kini, Oom Darwin menjabat Direktur Home Made Bakery, institusi lokal yang ia dirikan bersama sang istri sejak 1993. Bagi banyak warga Kelapa Gading, terutama yang mengikuti sejak awal, Home Made identik dengan roti hangat yang diantar menggunakan sepeda motor.

Saat itu, dia melihat celah di pasar ketika toko roti di mal belum menjamur. Dengan keyakinan bahwa roti yang enak adalah kebutuhan sehari-hari, ia langsung terjun ke bisnis ini tapi bukan tanpa persiapan matang. “Sebelum kita terjun di satu bisnis, saya pikir perlu kita tahu semuanya mendalam dulu,” dia menjelaskan. Di bawah bimbingan langsung seorang master baker asal Taiwan, ia mendalami seluk-beluk pembuatan roti, kue, dan pastry dari nol.

Ia dan sang istri memulai hanya dengan 14 jenis roti, dan dengan ingatan yang tajam, ia masih bisa menyebutkan satu per satu varian awal dari puluhan tahun lalu itu. Adapun soal resep, Oom Darwin blak-blakan. “Untuk resep, saya pikir semuanya hampir sama,” ujarnya. Menurut dia, rahasia bukan di bahan, melainkan di proses. “Handling step lebih penting, processing-nya. Di situ mesti step by step, enggak bisa ada yang instan.” Ia menekankan pentingnya teknik dari suhu adonan yang tepat sampai larangan utama: overmix.

Perjalanan dari 14 produk sederhana ke lebih dari 80 varian saat ini tentu tak mulus. Salah satu masa terberat datang saat krisis ekonomi 1998, ketika rupiah anjlok dan harga bahan baku impor melonjak. “Bahan baku kan semua pada naik pada saat itu,” dia mengenang. Di antara pilihan menjual rugi atau berhenti total, Oom Darwin memilih jalan ketiga: memperkecil produksi secara drastis, setidaknya cukup untuk tetap terlihat di pasar. Saat itu, Home Made baru berusia lima tahun. Risiko dilupakan konsumen nyata adanya. Selama dua sampai tiga bulan, mereka bertahan dengan produksi minim sambil perlahan menyesuaikan strategi harga dan pasokan. Keputusan untuk tetap hadir meski terbatas terbukti krusial bagi keberlangsungan merek ini.

Lalu, datang pandemi Covid-19 yang menghantam keras gerai mereka di mal dan perkantoran. Namun, Oom Darwin mengambil keputusan yang mencerminkan prinsip hidupnya: ia tidak memberhentikan satu pun karyawannya. Mereka menerapkan sistem sif bergiliran demi menjaga seluruh tim tetap bisa menerima gaji. Ungkapan “karyawan adalah keluarga” bukan sekadar slogan baginya. “Itu Home Made punya konsep, semua kayak keluarga sendiri.”

Meski usahanya kini besar, Oom Darwin belum sepenuhnya “gantung celemek”. 

“Masih,” jawabnya singkat saat ditanya apakah ia masih ikut bikin roti. Ia tetap mengikuti tren seperti croffle dan roti bawang ala Korea dan sesekali mencoba membuatnya sendiri. Tapi, tidak semua tren bertahan lama. “Ada produk juga habis waktu itu ya udah hilang,” katanya sambil mengangkat bahu. Ada yang cuma tren sesaat, tapi ada juga yang abadi, seperti roti abon roll-nya.

Keinginannya untuk belajar juga tak luntur. Setiap kali bepergian ke luar negeri, ia menyempatkan diri mengamati toko roti di Jepang atau Eropa, tapi tetap dengan kacamata lokal. Tidak semua tren cocok di sini, katanya. Rasa, budaya, konteks semua penting. “Kita harus punya khas sendiri. Karakter itu namanya. Kita jangan contoh-contoh orang luar, dong.”

Menjelang akhir obrolan, ia dengan santai menyebutkan satu hal yang mungkin tak mengejutkan bagi orang yang sudah mengikuti kisah hidupnya: ia juga menjalankan bisnis distribusi elektronik konsumen persis di seberang kafe dan toko rotinya. Bidangnya memang jauh berbeda, tapi semangatnya sama: penuh gerak, penuh prinsip. Setelah melewati krisis ekonomi, tren yang berganti, dan pandemi, bagaimana ia tetap optimistis?

“Kegagalan hanya keberhasilan yang tertunda,” ujarnya mantap.

Bagi Oom Darwin, maju adalah satu-satunya arah. Entah itu di dunia roti atau bisnis, kegagalan hanyalah bagian dari resep. Yang penting tangan terus bekerja, hati tetap menyala dan pada akhirnya, seperti adonan yang diuleni dengan sabar, sesuatu yang baik pasti akan mengembang.



Discover Other Stories