Di antara sekian banyak hal yang bisa membuat sebuah restoran terkenal, salah satunya adalah kemampuannya menghidangkan makanan dengan sangat cepat sebuah reputasi yang jarang dimiliki, namun pantas disandang. “Pelayanan di sini cepet banget, selalu mi-nya dulu yang dateng baru minumannya,” ucap seorang warga Kelapa Gading yang sering datang ke Bakmi Tan, sebuah tempat kuliner populer yang dikenal dengan pelayanannya yang cepat dan mi ala Teochew yang mengenyangkan.
Di Bakmi Tan, pemilik generasi kedua, Tjong Tek Joeng atau yang lebih dikenal dengan sebutan Oom Ayung bersikeras untuk mengoperasikan dapurnya dengan disiplin seperti militer. Dia adalah mesin penggerak segala pekerjaan di dapur, bergerak secara terarah dengan energi yang memenuhi isi dapur. Fokusnya adalah kecepatan dan konsistensi, memastikan bahwa tiap semangkuk mi yang disajikan memenuhi ekspektasi para pelanggan setia.
"Orang kan enak kalau makan cepat, nggak nunggu-nunggu," Oom Ayung menjelaskan, sebelum berjalan bergegas ke arah seorang pelayan untuk menegur mereka lantaran membiarkan gelas es teh pelanggan kosong.
Istri sekaligus rekan bisnisnya, Ngo That Hoa atau yang akrab disapa Wawa oleh teman-teman dan pelanggan, memandangnya dari dekat sambil terkikik. "Dia mah emang begitu," ujarnya, "Es teh customer nggak boleh kosong!" Berbeda dengan suaminya yang tidak bisa diam selama lebih dari 45 detik, sikap Tante Wawa terlihat lebih santai dan tenang. Seperti jangkar kokoh yang menyeimbangkan kapal di tengah gelombang besar, mereka bekerja sama untuk meneruskan warisan yang dimulai pada 1962 ini.
Kisah Bakmi Tan bermula ketika orang tua Oom Ayung membuka tempat makan sederhana dengan nama yang sama di daerah Mangga Besar, Jakarta Barat. Kemudian, Oom Ayung dan Tante Wawa mewarisi bisnis ini pada 1992, dengan bekal keahlian dan pengalaman bertahun-tahun menjalani bisnis restoran dan meracik mi yang tak terhitung jumlahnya. Pada 1998, mereka memindahkan tempat makannya ke Kelapa Gading, sementara saudara mereka tetap mengelola usaha ini di Mangga Besar.
"Saya memang suka di dapur," ucap Oom Ayung, yang mulai belajar memasak pada usia 10 tahun dengan bimbingan orang tuanya. Selain memastikan dapurnya terus konsisten dalam menyajikan semangkuk mi yang lezat, ia juga sangat memperhatikan pelayanan pelanggan: ketika ia sedang duduk di kursi dekat pintu masuk menuju meja makan restoran, ia langsung menyapa pelanggan yang baru datang dan menanyakan pesanan mereka, bahkan sebelum mereka sempat duduk.
"Pelanggan kita tuh dari dia orang masih pada kecil-kecil, sekarang udah pada bawa cucu," ungkap Tante Wawa. Bakmi Tan telah membangun hubungan antargenerasi. Jika sedang tidak sibuk di belakang kasir, Tante Wawa menyempatkan diri mengobrol dengan para pelanggan atau bahkan membantu menggendong bayi yang rewel selagi orang tua mereka makan. Tempat ini menjadi tempat berkumpulnya pelanggan tetap di lingkungan sekitar, sahabat pemilik restoran, serta sejumlah turis dari Singapura, Korea, dan Jepang. Menurut seorang karyawan yang telah lama bekerja di sini, tak jarang pelanggannya menelepon restoran pada pukul 6 pagi untuk memesan “menu yang seperti biasa”.
Salah satu menu unggulan yang paling sering dipesan adalah bakmi pangsit dan bakso: semangkuk mi telur kenyal dan berwarna keemasan dengan taburan ayam cincang, bakso ikan, dan kerupuk ikan tenggiri buatan sendiri yang bikin ketagihan. Banyak orang datang untuk mencicipi kerupuk ikan tenggiri, tapi tapi pangsit di sini tidak kalah pamor: adonan berbentuk segitiga mengkilap dan tipis dengan isian daging babi yang gurih. Lembut dan kaya akan rasa di setiap gigitan, membuat pengunjung terasa puas namun masih ingin memakannya lagi dan lagi.
Peristiwa kerusuhan di Jakarta pada 1998 menguji keteguhan mereka. Di masa yang tidak menentu, ketika banyak bisnis terpaksa tutup, Bakmi Tan tetap bertahan dan menjadi simbol kestabilan bagi masyarakat. Makanan yang mereka jual selalu habis setiap hari, menghadirkan ketenangan di tengah kekacauan.
Sama seperti resepnya, interior Bakmi Tan juga nyaris tidak berubah sejak 1998. Hanya sesekali dicat ulang, susunan blok kaca dan ubin warna-warni yang ikonik tak lekang oleh waktu. Komitmen untuk melestarikan peninggalan masa lalu ini bukan sekadar dekorasi menu mereka juga tidak banyak berubah dan resepnya masih tetap sama, suatu keputusan yang memberikan kenyamanan bagi penduduk setempat yang telah bersantap di sini dari generasi ke generasi.
Saat ini, pasangan di balik Bakmi Tan ini jarang meninggalkan daerah tempat tinggal mereka. Keduanya juga menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar mereka, salah satunya adalah Wati, putri salah satu karyawan mereka. Ia dibesarkan seperti anak sendiri, diajak berlibur ke luar negeri, dan bahkan diajari cara untuk mengelola tempat makan. Wati kini memegang peran penting dalam operasional sehari-hari restoran, dididik untuk suatu hari meneruskan tanggung jawab dalam memastikan Bakmi Tan dan hidangan mi andalannya selalu ada untuk dinikmati oleh generasi baru dari pelanggan tetap di masa mendatang.
Bagi Oom Ayung dan Tante Wawa, Bakmi Tan adalah komitmen seumur hidup, rumah, sekaligus tempat bagi lintas generasi untuk berkumpul dan menyantap semangkuk bakmi. “Dari dulu enggak berubah, ya begini aja,” ucap Tante Wawa sambil tersenyum, mengenang kembali masa-masa puluhan tahun yang telah berlalu. Mungkin itulah rahasianya: di kota yang terus berubah, Bakmi Tan masih tetap sama selalu ada di setiap kehidupan mereka yang datang, baik hanya untuk sekadar sarapan, berjumpa dengan kerabat, maupun untuk merasakan cita rasa layaknya di rumah sendiri.