Sebelum ada mal dan motor, sebelum trotoar mengeras dan selokan ditutup, Kelapa Gading masih berupa rawa-rawa. Dan di rawa-rawa itu, pada 1988, seorang pemuda bernama M. Syatori meninggalkan kampung halamannya di Cirebon untuk mencari peruntungan di sudut Ibu Kota ini.
Kini, kerja kerasnya telah menghasilkan sebuah warung jus semi-terbuka di kawasan perumahan yang tenang di Jl. Kelapa Sawit Raya. Di bagian depan, spanduk kuning cerah dengan bangga memajang nama “UNANK JUICE” di atas etalase kaca berisi buah-buahan segar. Area duduknya yang sederhana memberikan keteduhan dari teriknya matahari Jakarta Utara, tempat warga yang kepanasan bisa mendinginkan diri dengan racikan segar buatan Pak Unank.
Namun, jika nama pemiliknya adalah M. Syatori, siapa sebenarnya Unank yang jadi nama warung ini?
“Itu saya,” ujar Pak Unank sambil tertawa, mengenang julukan yang diberikan oleh salah satu pelanggan di masa awal berdagang.
Saat pertama kali tiba di Jakarta pada akhir 1980-an, ia memulai usahanya dengan berjualan es cincau dan es cendol. Selalu perfeksionis, ia memeras dan mengolah cincau sendiri jauh sebelum mampu membeli genset untuk menyalakan alat dapur. Namun, mencari daun cincau mulai susah pada tahun 1994, dan sering kali ia harus libur berdagang hanya demi mencari daun. Maka, seperti biasa, ia beradaptasi dan memutuskan mencoba berjualan jus buah segar.
Perubahan ini bukan sekadar peralihan menu melainkan awal dari proses panjangnya memahami selera pelanggan dan meracik campuran yang pas.
Filosofi usaha Pak Unank sederhana tapi ampuh: dengarkan pelangganmu. “Untuk menu-menu tambahan yang lain, saya belajar dari buku-buku, majalah…” jelasnya. Ia menyerap resep dan ide dari bacaan, tapi yang lebih penting, ia memperhatikan pelanggannya. “Ada masukan-masukan dari konsumen yang bagus, saya pakai, gitu.”
Ia mengumpulkan saran dari pelanggan, bereksperimen, dan menyesuaikan menunya agar sesuai dengan selera mereka.
Awalnya, ia hanya menjual dua jenis jus: alpukat dan jeruk. Semua diaduk manual menggunakan sendok, dengan rasa manis yang didapat dari campuran gula pasir dan gula mentah.
Meski tempatnya sederhana, permintaan tinggi. Setiap hari, ia sibuk sejak pukul sembilan pagi sampai dua siang, melayani pelanggan tanpa sempat duduk. Lapaknya waktu itu berdiri di samping tanah kosong dan hanya ada satu bangunan di depannya. Namun, krisis moneter 1998 menjadi masa yang sulit. “Saya sempat putus asa, cuma tetap jalan jualan,” ucapnya. Untuk bertahan, ia sementara menyerahkan lapaknya ke adik laki-lakinya dan bekerja di proyek bangunan. “Saya berjuang, saya usaha kerja bangunan saat itu karena enggak bisa nutupin kebutuhan keluarga,” katanya. Begitu ekonomi membaik, ia kembali total ke usaha jusnya.
Namun, sebelum menempati lokasi tetap di dalam kompleks perumahan, ia harus menghadapi musuh klasik Kelapa Gading: banjir. Suatu kali, banjir bandang menghanyutkan gerobaknya ke seberang jalan. “Banjir bandang, gerobak saya hanyut ke seberang jalan. Hancurlah,” ujarnya sambil tertawa getir.
Kejadian itu membuatnya terpukul. Namun, seorang pelanggan setia datang memberi semangat. “Udah lah, Pak Unank,” katanya. “Dimodifikasi aja gerobaknya. Sekarang dibikin gimana caranya supaya bisa jalan.”
Terinspirasi oleh dukungan itu, ia merombak gerobaknya menjadi versi tiga roda yang bisa dikayuh. Dengan cerdik, ia mengikat genset Honda portabel di bagian belakang supaya bisa menghidupkan blender saat berkeliling. “Jadi keliling tetap jalan,” katanya bangga seraya tersenyum mengenang masa itu.
Pengalaman tersebut, meskipun berat, justru membuktikan bahwa ketahanan dan semangat gotong royong bisa membuat usahanya tetap hidup. Seiring waktu, warung jusnya menjadi bagian tak terpisahkan dari lingkungan sekitar.
Pak Unank juga punya keistimewaan: pengetahuan ensiklopedis soal buah dan manfaat kesehatannya. Jauh sebelum semua informasi bisa dicari lewat Google, ia sudah mempelajari buku dan majalah jus, bahkan menyediakannya di meja untuk dibaca pelanggan. “Saya taruh di meja untuk konsumen baca-baca sambil minum,” katanya, lalu dengan semangat memaparkan khasiat alpukat untuk kolesterol, sirsak untuk asam urat, dan bit untuk tekanan darah.
Favorit pribadinya? Campuran jeruk pontianak, jeruk purut, dan lemon. “Tujuannya untuk ngurangin kolesterol. Jadi enak, seger gitu. Itu paling suka aku,” ujarnya sambil tersenyum lebar.
Untuk menjaga pasokan terutama untuk jus alpukat andalannya Pak Unank diam-diam menguasai logistik di balik kesegaran produknya. Ia mengatur stok buah matang dan mentah dengan cermat, memastikan ketersediaan untuk warung maupun pesanan antar. Keluhan, dia mengakui, pasti ada karena kualitas buah bisa berubah sesuai dengan musim tapi ia menyikapinya dengan tenang dan rasa tanggung jawab yang besar. “Kalau ada yang komplain, ya, wajar. Namanya buah, kadang kualitasnya beda-beda. Tapi saya tetap berusaha kasih yang terbaik.”
Ia sempat terpikir untuk berkembang, bahkan sempat menjual makanan selama pandemi nasi rawon dan sup iga tapi ritmenya nyaris membuatnya tumbang. “Tutup warung malam, tengah malam belanja ayam, jam 4 pagi masak nasi,” kenangnya sambil menggeleng. “Kurang istirahatnya. Saya udah lah. Jus aja lah.”
Bertahun-tahun lalu, ia meninggalkan rumahnya di Cirebon hanya berbekal keyakinan keras bahwa sesuatu yang lebih baik adalah hal yang mungkin terjadi. Ia memulai dengan es cincau, memeras daun cincau hingga lengannya pegal hanya demi menghasilkan agar-agar untuk satu hari jualan. Ia mendorong gerobaknya di bawah panas matahari Kelapa Gading, bahkan sempat kehilangan gerobaknya karena terbawa banjir. Namun, tiap rintangan justru membawanya selangkah lebih dekat ke versi kebahagiaan yang ia bayangkan.
Kini, saat ia duduk bersandar di bangkunya dan memandangi usaha yang telah ia bangun, tak ada lagi penyesalan. “Sampai sekarang, alhamdulillah, sudah mudah jalannya. Cita-cita saya sudah tercapai, sebenarnya.”