Di Purwokerto pada 1960-an, seorang perempuan penuh akal bernama Winawati Wangsaputri membutuhkan lebih banyak daya listrik. Salon rambut rumahan miliknya makin sibuk dari hari ke hari, sementara alat-alat penata rambut pada masa itu terlalu berat untuk pasokan listrik rumah yang sederhana.
Meningkatkan daya listrik hanya untuk keperluan menata rambut terasa berlebihan. Jadi, ketika kerabatnya memberinya hadiah lemari es, Oma Winawati punya ide: jika dia harus membayar lebih untuk listrik, kenapa tidak memanfaatkannya dengan baik? Mengapa tidak memulai bisnis sampingan yang dapat membantu menutupi biaya tersebut?
Keputusan itu menjadi fondasi dari Es Puter & Es Krim Brasil, bisnis keluarga yang sekarang memasuki generasi ketiga. Cucu perempuan Oma Winawati, Lanny Wiogo, membantu menjalankan usaha ini saat ini. Ketika tidak sedang mengawasi produksi atau mengutak-atik rasa baru, Ci Lanny bekerja penuh waktu sebagai dokter dengan praktik pribadinya sendiri. Anggota keluarga lainnya juga ikut membantu meskipun banyak yang menekuni karier yang sama sekali berbeda, bisnis ini tetap menjadi warisan bersama.
Es krim yang mulai dibuat oleh oma Ci Lanny bukanlah jenis es krim yang kental dan lembut seperti yang ditemukan dalam hidangan pencuci mulut ala Barat. Es krim ini berbasis es puter, jajanan tradisional Indonesia yang terbuat dari santan, air, dan buah. Hasilnya adalah hidangan penutup yang dingin dan padat dengan tekstur sedikit “berpasir”, yang mengingatkan pada masa yang lebih sederhana dan tenang.
Pada masa-masa awal, pembuatan es krim dimulai jauh sebelum matahari terbit. Di rumah Oma Winawati, hari dimulai sekitar pukul 3 atau 4 pagi. Pada pukul 5 pagi, pekerjaan sudah berlangsung bahan-bahan ditakar, peralatan dinyalakan, dan persiapan dilakukan untuk menghasilkan bintang di antara jajaran produknya: es lilin, yaitu es loli berbentuk silinder ramping yang namanya mengingatkan kita pada bentuknya serta cara dia menyegelnya dengan tangan, melunakkan ujung plastik dengan nyala lilin.
Rasa-rasa pertama masih dikenang dengan penuh kasih hingga kini: kacang hijau, ketan hitam, dan kelapa muda. Karena bisnis ini dimulai di Jawa Tengah, ada juga varian rujak beku, salad buah asam-manis khas Indonesia. Produk-produk tersebut dijual bukan dari etalase toko, melainkan oleh banyak pedagang keliling yang mengemas camilan beku tersebut ke dalam pendingin portabel dan berkeliling di jalan-jalan perumahan. Adapun nama Brasil ternyata tidak terinspirasi oleh negara tersebut, tetapi oleh sesuatu yang sama sekali berbeda. “Jadi yang saya denger memang dikasih nama Brasil supaya usahanya berhasil,” Lanny menjelaskan sambil tersenyum. Doa untuk kesuksesan itu akhirnya menjadi kenyataan.
Es Brasil masih menjadi urusan keluarga. Ibu Ci Lanny membawa bisnis ini ke Jakarta pada 1980-an, ketika ia menemukan rumah di Kelapa Gading. Produk itu pun hampir tidak berubah dan warna-warna cerahnya berasal dari bahan-bahan asli tanpa pewarna sintetis, pengawet tambahan, atau perasa buatan dalam botol di sini. Jika stroberi berwarna merah muda, itu karena dikemas dengan stroberi asli. Jika durian ini benar-benar terasa nikmat, itu karena terbuat dari durian asli.
Yang berubah adalah variasi rasanya. Es Brasil kini menawarkan banyak rasa untuk memuaskan semua selera—rasa klasik seperti alpukat, kelapa, dan kacang hijau berdampingan dengan rasa kekinian yang menggoda, seperti Oreo, cappuccino, dan teh hijau. Sejumlah besar produk dibuat di pabrik di kota asalnya, Purwokerto, tempat mereka memulai hari pada pukul 8 pagi dengan kegiatan memotong dan mencampur buah. Meskipun skalanya meningkat, mereka tetap mempertahankan teknik pembekuan tradisional mencelupkan cetakan ke dalam larutan air garam untuk mempercepat proses, bukan hanya mengandalkan freezer modern. Hasilnya adalah es dengan tekstur yang sedikit lebih padat, tetapi rasa buahnya lebih kuat dan jelas. Pengepakan dimulai pada tengah hari, lalu pada sore harinya semua es sudah dingin dan siap didistribusikan ke seluruh Jawa.
Ci Lanny resmi terjun ke bisnis keluarga pada 2013, meskipun Es Brasil sebenarnya sudah menjadi bagian dari kesehariannya sejak dulu. “Kalau aku dulu pas aku kecil belum jadi pabrik, tapi masih pabrik rumahan,” katanya.
Dulu, semua itu baginya sekadar bagian dari kehidupan sehari-hari, bukan sumber pendapatan utama keluarga. “Mungkin waktu kecil seneng aja banyak orang, pagi-pagi udah ada puluhan orang duduk, bungkusin, ngeracik, bikin esnya.” Jadi, apakah dia terlibat dalam berbagai bisnis saat masih kecil? “Bantu ikut makanin aja,” katanya sambil tertawa.
Kesadaran akan makna Es Brasil muncul belakangan. “Dulu sih waktu kecil mungkin nggak terlalu sadar, ya,” ucapnya. “Mungkin begitu udah mulai masuk SMA, mau masuk menjelang kuliah, itu baru sadar aku gede bareng toko ini nih. Jadi ini harus tetap dijaga, biar terus ada, terus berkelanjutan.”
Dan dari sang nenek, yang diwariskan bukan hanya produk, tetapi juga pola pikir. “Belajar dari Oma untuk tekun dan ulet ngejalanin suatu usaha,” kata Lanny. “Kalau orang ulet kan biasanya usaha itu akan dijalanin dan ada hikmahnya.”
Kini, dengan peran yang lebih besar dalam bisnis keluarga daripada sekadar mencicipi produk, ia berharap bisa memperkenalkan Es Brasil kepada generasi konsumen yang baru. Merek yang dikelola keluarga ini menegaskan kembali tempatnya dalam dunia hidangan penutup beku Indonesia dengan tetap mempertahankan metode yang telah teruji dan terbukti berhasil di masa lalu.
Bisnis ini sekarang sudah sangat berbeda dibanding saat dimulai pada 1968, ketika satu tindakan sederhana Oma Winawati mengeringkan rambut pelanggan bisa mengganggu seluruh kegiatan hari itu.
Lucunya, solusi kecil yang tampaknya sederhana untuk memanfaatkan listrik tambahan secara maksimal justru memicu sesuatu yang lebih besar. Cara yang awalnya dilakukan hanya untuk menjaga salonnya tetap beroperasi malah menjadi bisnis yang pada akhirnya tumbuh melampaui batas rumah, bertahan lebih lama dari salon itu sendiri, dan terus menyatukan keluarganya.
Melalui keturunannya termasuk Ci Lanny di Kelapa Gading—bisnis ini terus berkembang. Dan meskipun lemari esnya kini makin besar, Es Brasil tetap digerakkan oleh arus yang sama yang mengalir di salon kecil milik Oma dulu: kecerdikan dan ketangguhan.